Saturday, April 19, 2008

KONSEKWENSI YANG DIMILIKI BUDAYA UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI: SEBUAH PENGUJIAN EMPIRIS DARI BUDAYA, KEBEBASAN, DAN PELAKSANAAN PASAR NASIONAL

Steve D.Papamarcos dan George W.Watson

ABSTRAK

Di dalam penelitian ini kita secara empiris menguji peran budaya di dalam membahas pelaksanaan ekonomi country-level. Kita menemukan hal tersebut, ketika ini hadir dalam pertumbuhan ekonomi, yang mana tidak semua budaya diciptakan sama. Untuk hasil perusahaan global dan praktek manajer, kita mengindikasikan bahwa nilai budaya muncul berarti secara statistik dan secara operasional mempengaruhi ekonomi yang berarti. Kita juga lebih meningkatkan dan menguji peningkatan kerangka di dalam faktor budaya dan politik secara terus menerus yang saling berhubungan dengan pembahasan pertumbuhan. Model interaktif kita dijelaskan secara penuh 51 persen (p<01)>

PENGANTAR

Pada awal pertama abad duapuluh, dunia menyisakan penuh yang dibagi antara kaya dan miskin, demokratis dan otoriter, adil dan ketidakadilan, kerapian dan kekacauan. Kontras yang masih ada begitu dramatis, yang menjadi jelas bahkan peneliti yang tinggal pada masa itu melawan cukup tinggi. Disana eksis semua cara penjelasan dengan menghargai faktor dari peristiwa yang mendasarinya. Geografi, iklim, penjajahan sebelumnya dan sejarah besar yang samar akan perilaku aneh dalam penjelasan dari penyimpangan ekonomi saat ini. Bagaimanapun juga, konsekwensi yang dimiliki suatu budaya untuk pembangunan telah diberikan shirft pendek. Alasan yang memungkinkan untuk ini adalah bermacam – macam, bagaimanapun Patterson (2006) menyimpulkan bahwa “penyebab utama untuk kekurangan ini adalah sebuah dogma deep-seated yang telah berlaku pada ilmu pengetahuan sosial dan kebijakan yang mengitarinya sejak pertengahan tahun 1960 an: penolakan beberapa penjelasan yang meminta atribut budaya yang dimiliki kelompok – sikap membedakan, nilai dan kecenderungan, dan hasil perilaku dari anggota – anggotanya….” (Hal 13). Mengapa ini ditolak? Budaya sulit untuk mengarah pada beberapa level: hal ini secara definisi merupakan problematik; hal ini ambigu secara langsung – berdampak secara simultan dan dipengaruhi oleh sebuah faktor kontekstual utama; hal ini sulit untuk diperoleh dan dinilai; dan ini terbawa dengan kemampuannya untuk meniru secara terbuka dan benar – benar marah. Ini juga menggoyahkan banyak sarjana dan para pembuat kebijakan. Bagaimanapun, budaya tersebut sulit untuk menghadapi kegagalan terhadap kompromi yang memungkinkan kekuatan yang bersifat menjelaskan dan eksekutif multinasional yang dimiliki saat ini, yang mengharuskan untuk mempertimbangkan semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pasar, struktur dan manajemen praktis. Kita menyarankan bahwa budaya terus meningkatkan dalam dunia globalisasi kita (Thorsby, 2001). Memahami faktor ini merupakan sebuah prasyarat penting dari analisis manajerial yang dikhususkan secara penuh (lihat contoh Fan dan Zigang, 2004). Yang lainnya telah dicoba untuk menguji peran budaya secara sama, percaya pada bukti anekdot dan kasus penelitian yang pararel. Bagaimanapun, kita menggunakan sebuah prespektif multidisipliner, skema budaya yang diperoleh secara empiris, dan penilaian kuantitatif dari 34 negara yang diterima secara luas. Untuk pertama kalinya, kita juga mencari untuk menguji konsekwensi yang dimiliki budaya untuk pasar selagi mengontrol kebebasan ekonomi dan politik.
DIMENSI KULTURAL DALAM KEHIDUPAN MANAJERIAL

Kita mengetahui atau mempercayai bahwa sebagian besar budaya dan konsekwensinya memungkinkan untuk jalan hidup dan kerja kita berasal dari penelitian asli yang dimiliki Hofstede (1980) (Bing, 2004). Hofstede berpendapat bahwa “ orang membawa ‘program mental’ yang dikembangkan di dalam keluarga pada awal masa kanak – kanak dan diperkuat di dalam sekolah dan organisasi” ( hal 11). Percayalah bahwa program mental ini berisi sebuah komponen dari kebudayaan nasional, Hofstede memformulasikan sebuah model empiris empat dimensi dari perbedaan kebudayaan. Mengenali faktor – faktor yang meliputi jarak kekuatan, kolektivisme – individualisme, menghindari ketidak pastian dan sifat kelaki – lakian dan kewanitaan. Penelitian Hofstede merupakan jalur yang putus di dalam membedakan kebudayaan nasional secara konseptual dan menyarankan cara dimana perbedaan ini mungkin mempunyai konsekwnsi untuk organisasi dan orang. Penggunaan dari dimensinya tersebar luas di dalam penelitian perilaku dan organisasi yang merupakan kesaksian untuk keseluruhan pendekatan kerjanya. Pada akhir tahun, faktor – faktor kulturalnya telah dihubungkan dengan prespektif dan determinan etika bisnis (Schepers, 2006;Su, 2006;Smith&Hume,2005;Swaidan&hayes,2005), konsumen pembuat keputusan dan iklan(Mikhailitchenko&Whipple,2006;Bang,Raymond,Taylor&Moon,2005;Leo,Bennet&Hartel,2005;Malai&Speece,2005;Yoo&Donthu,2005), pengembangan produk baru (Garrett, Buisson&Yap,2006;Dwyer,Mesak&Hsu,2005), negosiasi internasional (McGinnis,2005;Rammal,2005), spekulasi gabungan (Ritchie,&Eastwood,2005), control manajemen (Garg&Ma,2005;Lere&Potz,2005), tekhnologi informasi (McCoy,Everard&Jones,2005),QA/TQM (Jabnoun&Khafaji,2005), hubungan industri (Black,2005), kepemimpinan (Littrel&Valentin,2005), dan pilihan perangsang (Rehu,Lusk&Wolff,2005). Sedangkan banyak replikasi yang membuktikan validitas dan keandalan penemuannya (lihat Sondergoard, 1994), hal ini penting untuk menghargai sejumlah kontroversi sekitarnya yang masih berasal dari dimensi yang dimiliki oleh Hofstede seperrti halnya aplikasi mereka. Contohnya, ini mungkin disarankan secara realistik bahwa masing – masing faktor seharusnya mempunyai konsepsi lebih baik seperti sebuah bagian dua – dimensional, contoh; mungkin secara teoritis memungkinkan sebuah negara untuk menilai keduanya secara tinggi, baik individualisme, kolektifisme, dan rekan. Tentu saja, Purcell (1987) merepresentasikan faktor ini hanya seperti sebuah cara, yang mana dia berpendapat bahwa firma – firma Jepang sering menekankan aspek individu dalam mengembangkan karyawannya, dan bersamaan dengan kerjasama kolektif. Penempatan dari atribut – atribut ini berlawanan dari sebuah kesatuan rangkaian yang mungkin mereflekfsikan bias orang Barat yang tidak sesuai untuk penelitian orang Timur. Pada kenyataannya, Hofstede & Bond (1988) secara khusus mengembangkan Chinese Value Survey yang menyebabkan perhatian ini. Analisa mereka mengindikasikan bahwa contoh 22 negara berbeda dalam empat cara utama. Faktor – faktor ini ditentukan sama dengan jarak kekuatan, individualism-collectivism dan masculinity-femininity mengidentifikasi varabel lebih awal, akan tetapi satu faktor yang unik, teori penagruh energi yang mungkin menjadi faktor yang sama, atau pada sebuah minimum yang mana mereka begitu tinggi berhubungan dengan beberapa variable ketiga (lihat juga Fang, 2003). Kemudian dalam pengujian empiris kita, kita mempercayai penemuan asli yang dimiliki Hoftsede berhadapan dengan struktur faktor budaya.

Jarak Kekuatan

Faktor jarak kekuatan Hofstede (1980) mengacu luas pada anggota dari sebuah masyarakat yang menerima bahwa kekuatan dan semua itu disatukan dengan distribusinya secara tidak merata.Menurut Hofstede, di dalam sebuah jarak kekuatan masyarakat atas sebuah order ketidaksamaan berada pada tempatnya atau pada semua orang; karakter ketergantungan mayoritas anggota masyarakat, dan ketergantungan pilihan minoritas; atasan dan bawahan dibedakan di dalam cara hirarki; dan kekuatan merupakan sebuah fakta dasar dari masyarakat yang menanggali bagus atau jelek. Di dalam sebuah contoh masyarakat, pemilik kekuatan diberi hak perlakuan khusus menolak kekuatan; memaksa dan mengacu kekuatan yang ditentukan; yang lain dipandang seperti sebuah ancaman satu kekuatan dan jarang dipercaya; dan karakter hubungan konfilk tersembunyi antara kekuatan dan kekuasaan. Di dalam sebuah jarak kekuatan masyarakat bawah, kepercayaan ketidaksamaan yang ada diperkecil; saling ketergantungan anggota menggantikan ketergantungan mayoritas; atasan dan bawahan dipertimbangkan/dianggap sama; dan semua anggota mempunyai hak yang sama.Apalagi di dalam jarak kekuatan masyarakat bawah yang sah dan luas, ditekankan kekuatan; orang pada berbagai macam level kurang diancam/ditekan dan lebih dipersiapkan untuk mempercayai satu sama lain;dan harmoni yang tersembunyi berada diantara kekuatan dan kekuasaan. Berdasarkan struktur yang kaku dan karakter hubungan dari kebudayaan jarak kekuatan atas, keengganan kekuatan relative untuk menilai kekuatan lain yang kurang mengarah/membawa pada tabel ekonomi, dan menerima instrinsik oleh korban – korbannya dari diskriminasi sistematik ini, kita menawarkan hipotesis berikut:

Hipotesa 1: Tingginya jarak kekuatan akan cenderung mempengaruhi pencapaian ekonomi nasional secara negative.

Individualism - Collectivism

Menurut Hofstede (1980), level individualisme atau kolektifisme menandai sebuah kebudayaan yang mencerminkan hubungan antara individu dan kolektif, yang mana berlaku di dalam masyarakat tersebut. Individualisme yang tinggi menyiratkan sebuah pilihan untuk membuat kerangka sosial secara bebas, yang mana orang diharapkan untuk menjaga diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja. Kolektifisme mengindikasikan sebuah pilihan untuk membuat sebuah kerangka sosial, yang mana individu merupakan kesatuan di dalam sebuah keluarga besar secara emosional atau di dalam kelompok lain yang akan melindungi mereka di dalam pertukaran kesetiaan yang tidak dipertanyakan.Di dalam kebudayaan individu orentasi – diri ini, atau kesadaran “Saya”, mengakibatkan sebuah emosi kemandirian dari individu dari dari organisasi dan institusi. Kebudayaan kolektif disifatkan dengan sebuah kesadaran “kami” yang diterjemahkan ke dalam ketergantungan emosional individu dalam masyarakat; sebuah perasaan memiliki; keinginan bawahan dari seorang individu dan sebuah kehidupan pribadi; serta sebuah kepercayaan khusus secara krusial menilai standar tersebut yang membedakan anggota di dalam dan di luar kelompok. Kita menyarankan bahwa mobilitas sosial, pencarian terhadap ketertarikan itu sendiri, ketergantungan psikologis individu, penekanan pada suatu inisiatip, prestasi dan sifat adil dari kebudayaan individu akan menyebabkan individu melaksanakan kerjanya, dimana hal ini akan memperoleh penghasilan tinggi yang telah tersedia. Sebaliknya, perbedaan di dalam ataupun di luar kelompok begitu kuat dipelihara di dalam budaya koletif yang akan menjadikan ketidakmampuan sebagian besar orangnya, khususnya untuk orang yang secara tradisional kurang mengakses tingkat kekuatannya. Kemudian, kita menyarankan sebagai berikut:

Hipotesa 2: Sebuah orentasi kolektif cenderung akan mempengaruhi pelaksanaan ekonomi nasional.

Uncertainty Avoidance

Uncertainty Avoidance/menghindari ketidakpastian menyebar luas kepada orang di dalam sebuah masyarakat yang merasa terancam oleh situasi yang ambigu dan tidak terstruktur. Hofstede (1980) menemukan bahwa kegelisahan ini terungkap dengan sendirinya dalam emosionalitas dan cederung agresif. Pada masyarakat atas, uncertainty avoidance sudah menjadi sifat dalam kehidupan yang dianggap seperti sebuah ancaman terus menerus yang harus dijawab, dan disana eksis keduanya, konflik dan kompetisi lepas secara agresif, dan untuk itu seharusnya menghindari kekuatan untuk konsensus. Sebaliknya, di dalam masyarakat bawah, uncertainty avoidance merupakan perilaku kehidupan yang lebih mudah diterima dan hampir setiap hari datang; terdapat sebuah kepercayaan bahwa konflik dan kompetisi dapat berisi sebuah tingkatan permainan yang adil dan digunakan secara konstruktif; dan tersedia dampak yang lebih besar, berselisih faham, dan untuk hidup dengan sedikit aturan yang memungkinkan. Berdasarkan kecepatan dan ketidak berlanjutannya perubahan waktu hidup kita, keinginan dari masyarakat atas dalam uncertainty avoidance beresiko dan menyelidiki struktur alternative, hubungan dan proses, kita menawarkan hipotesa berikut:

Hipotesa 3: Uncertainty Avoidance yang tinggi akan cenderung berdampak negatif pada pelaksanaan ekonomi nasional.

Masculinity – Femininity

Hoftsede ( 1980) memilih istilah “masculinity “ dan “ femininity” untuk membedakan budaya berdasarkan perbandingan item faktor ini yang salah satunya merupakan yang bernasib sial. Masing – masing uraian yang dibawanya, menyiratkan jauh, peran sex tiruan yang mungkin tidak akurat dan bertentangan, yang mana politik yang tidak penting terbangun. Barangkali ini merupakan dimensi Hoftsede yang salah dimengerti (Rich, 2000), dan Hoftsede sendiri kembali mengingatkan pembacanya bahwa femininity tidak sama ideal seperti feminisme. Laki – laki diharapkan untuk bersaing dan bertindak dengan tegas dan kuat. Perempuan diharapkan lebih lembut, yang merupakan sisi emosional dari kehidupan. Corak masyarakat feminine yang dimiliki Hoftsede lebih melengkapi peran jenis kelamin yang tumpang tindih. Tepatnya, perbedaan ini dalam mengenali kontribusi kemampuan perempuan di dalam aspek ekonomi yang kita percayai akan membedakan ciptaan kesejahteraan pada maskulin melawan budaya feminine. Dengan begitu, kita menyarankan sebagai berikut :

Hipotesa 4: Sebuah orentasi “maskulin” akan cenderung berdampak negatif pada pelaksanaan ekonomi nasional.



Peran Kebebasan

Di dalam menyelidiki hubungan ekonomi dan politik, para sarjana fokus pada urutan di dalam peristiwa ekonomi yang mempengaruhi hasil politik ( Hirschman, 1994). Hubungan ini telah diteliti dengan peningkatan level yang kaku dan hasil tidak seimbang secara dramatis. Przeworski dan Limongi (1993) meninjau ulang seluruh literatur yang belum selesai dengan hati – hati, dan ini tidak mampu untuk menetapkan hubungan yang dicari yang mungkin menjadi bagian tanggungjawab untuk penelitian yang kurang baru – baru ini. Sedangkan dampak langsung mungkin sulit untuk ditunjukkan, kita mengusulkan bahwa kebebasan politik dan ekonomi boleh lebih memainkan peran yang sulit dipisahkan daripada mengajukan sebelumnya. Kita menyarankan sebuah model cakupan lebih di dalam faktor budaya dan politik secara terus menerus yang memungkinkan berinteraksi atau tumbuh dengan hati – hati. Kita juga menyarankan pentingnya bebas dalam berekspresi yang mendasari faktor – faktor budaya yang mungkin menentukan meningkatnya perkembangan pasar nasional. Dengan begitu, kita membantah pengaruh kebaikan moderat melawan dampak langsung, pengintegrasin kultural dan preskektif statis di dalam sebuah cara yang unik. Kita mengusulkan sebagai berikut:

Hipotesa 5: Kebebasan politik dan ekonomi akan berinteraksi dengan faktor budaya, moderating konsekwensi budaya untuk pelaksanaan ekonomi nasional.

Ukuran dan Hasil

Pengujian 34 negara menyisakan kemandirian sejak data survey asli yang dimiliki Hofstede diterbitkan pada tahun 1980, hubungan analisis ( lihat Tabel 1) mengindikasikan bahwa, sebagaimana kita menghipotesakan, karakter budaya seperti meritocratic ( hipotesa 1; p<01),>

Tabel 1

Sedangkan tidak ada variabel kultur-level yang penting dicapai di dalam berbagai format kemunduran (lihat Model 1, Tabel 2, cara ini besar dalam kaitan negara – negara kita menggunakan sebagai level analisis dan berhubungan gerak analisa statistic sederhana untuk mendeteksi dampak yang berarti (lihat Cohen, 1992). Bagaimanapun, R2 (mengatur) dari .24 (p<10)>uncertainy avoidance (p<01)>

Tabel 2

Untuk lebih mengeksplor interaksi kebebasan dan budaya secara penuh, kita memperkerjakan analitik teknik sama yang mengikuti sebuah data median – split pada kebebasan indek status, Seperti bukti di Tabel 3, untuk 17 “free countries” di dalam contoh jarak kekuatan dan variabel individualism-collectivism terkait secara signifikan, korelasinya untuk pelaksanaan ekonomi nasional (p<10>

Tabel 3: Intercorrelation Matrix

Analisa kemunduran multiple pada contoh yang diuraikan menyebabkan variabel jarak kekuatan hilang ke dalam statistik yang tidak penting pada setengah contoh yang cuma – cuma, sedangkan individualism-collectivism (p<10)>uncertainty avoidance diterima secara signifikan (p<10)>

Tabel 4: Multple Regression Analysis

IMPLIKASI UNTUK MANAGER GLOBAL

Penelitian ini tersebar luas lebih awal bekerja pada budaya dan konsekwensi ekonominya dengan menginvestigasi peran yang memungkinkan dari faktor budaya di dalam mendorong atau menakut – nakuti pelaksanaan ekonomi nasional. Teori kita mengandaskan dalil pendukung empiris yang diterima di dalam beberapa kejadian, masing – masingnya penting bagi manager multinasional saat ini.

Pertama, ketika hal ini hadir pada pertumbuhan ekonomi dan perkembangan pasar, ini muncul jika tidak semua budaya diciptakan sama. Kita mendalilkan bahwa mobilitas sosial, psikologis independen dari individu, dan penekanan pada prakarsa, kesamaan, karakter inklusif dari budaya individualistik akan menyebabkan individu menerapkan kerja kerasnya, dimana ini akan menghasilkan sisa yang ada paling tinggi. Hipotesa score jarak kekuatan juga lebih tinggi muncul secara negative berhubungan dengan pertumbuhan pasar. Hak perempuan, kemandirian dari kekuatan dan kekuasaan, dan ditingkatkannya mobilitas berasal dari sebuah penolakan kepercayaan pada kekuatan semua ahli yang berkonspirasi untuk mendorong pertumbuhan. Dengan cara yang sama, kesediaan orang untuk beresiko (contoh incertainty avoidance) dan menerima konsekwensi dari munculnya resiko yang mereka ambil berhubungan dengan isu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Masyarakat yang bersifat kurang membatasi menandai perilaku, kesediaaan untuk menetapkan “truths” dan untuk mengadakan percobaan, untuk terlibat di dalamnya dan bertoleransi terlibat di dalam perilaku di luar kebiasaan lain, dan untuk menguasai atau tertarik dengan gagasan – gagasan di luar kebiasaan lain, semua muncul secara empiris mengikat positif pada pencapaian pasar.

Kedua, kita menyarankan bahwa untuk komunitas bisnis global, hubungan langsung ini mungkin cukup menyesatkan mereka sendiri. Kita lebih meningkatkan model cakupan di dalam faktor budaya dan politik yang berinterakasi secara berkelanjutan. Kita mengusulkan bahwa pentingnya bebas berekspresi mendasari faktor budaya yang mungkin menentukan kenaikan dari pelaksanaan ekonomi, membantah kebaikan dari pengaruh moderat melawan dampak utama. Pada sebuah basis geopolitical dan makroekonomi saran ini didukung. Setelah mempertimbangkan faktor level budaya, kegunaan beberapa dalil tentang syarat arah politik pertumbuhan pasar harus dipersoalkan. Jika pergerakan yang dimiliki suatu negara terhadap kebebasan individu lebih besar dipandang sebagai inti sari perkembangan politik, dan kemajuannya pada sebuah masyarakat yang makmur sebagai perkembangan ekonomi, penemuan persiapan ini terjadi pada beberapa peristiwa, dan barangkali meningkatkan pemahaman literatur ambigu kita secara empiris. Desakan Negara untuk “get their act together” dan menetapkan institusi demokratis untuk cara pemikiran kita, sangat berhadap-hadapan dengan martabat individu dan hak asasi manusia, bagaimanapun kebebasan muncul dengan sendirinya mempunyai sedikit pengaruh langsung secara ekonomi setelah budaya dipertimbangkan. Secara rinci, individualisme-kolektifisme, uncertainty avoidance, dan masculinity-femininity muncul untuk berinteraksi dengan kebebasan indek status pada komplek cara yang lebih baik. Secara relative negara bebas menemukan penghargaan berdasarkan jasa dan kurangnya penekanan pada anggota di dalam ataupun diluar dimungkinkan tumbuh lebih besar. Pada negara yang kurang bebas, keinklusifan muncul mengendalikan perkembangan.Salah satu tren yang menyolok di dalam dunia industri lebih dari dua dekade terlihat banyaknya perempuan menjadi pasar tenaga kerja, dan baru – baru ini dibayar lebih tinggi. Di dalam negara industri modern perkembangan ini mempengaruhi keluarga secara signifikan. ( contohnya, pengakuan dari pergeseran kedua), tempat kerja ( contohnya, pengenalan kebijakan kerja keluarga yang ramah) dan ekonomi ( contohnya, akses untuk menyatukan sebuah bakat yang lebih besar, meningkatkan ketersediaan tenaga kerja secara umum dan menimbang ulang mencampur home-provided, market-provided dan layanan), dan tren baru – baru ini menjanjikan perubahan peristiwa yang lebih besar.Contohnya, pada kebebasan relative, pertumbuhan Amerika Serikat tinggi secara relative, sepertiga dari semua perempuan menikah berpenghasilan lebih dibandingkan dengan suami mereka. Lebih dari itu, di Amerika Serikat lebih 20 persen perempuan lulusan universitas dibandingkan laki – laki (Elliot, 2001), meramalkan perubahan yang berarti di dalam ekonomi umum seperti halnya pada hubungan inter-personal. Sedangkan penelitian selanjutnya diperlukan untuk menggambarkan kesimpulan yang kuat, untuk memperluas masyarakat less-free lebih mengenali dan menggunakan penuh bakat bakat perempuan tersebut yang membawa pada tabel ekonomi, hasil kita mengindikasikan bahwa daya saing dan kesejahteraan mereka akan ditingkatkan. Seperti absen pengenalan, satu keinginan bagaimana bangsa akan bersaing.

Ketiga, dengan menghargai ekonomi sebagai sebuah sistem dari satu pemikiran, near-universality dari paradigma sukarela menukar pasar dan rasio seluruhnya, utility-maximizing dan otonomi individu membentuk perdebatan kebijakan publi diatas dunia. Bagaimanapun, menurut beberapa ekonom saat ini suatu pengalaman merupakan sesuatu dari sebuah krisis (Quddus, Glodsby & Farooque, 2000). Sedangkan penyebab dari krisis ini menghindari konsensus, keunggulan matematika, dan menyusun model yang sangat tinggi sebagai basis untuk ekonomi akademik – pada biaya sosiologis, politik, legal dan pertimbangan lain yang memungkinkan – mungkin dikontribusikan turun dengan baik. Ini menjadi jelas pada banyaknya kegagalan pendekatan sekarang yang menjelaskan kompleksitas dari pelaksanaan ekonomi di seluruh dunia sepenuhnya (Nelson, 1996; Fukuyama, 1995; Knack&Keefer, 1995), maupun hal ini cukup untuk menguraikan perilaku micro-level. Contohnya, budaya mungkin mempengaruhi fungsi objektif dan menghambat individu (Sama & Papamarcos, 2000), menjelaskan secara rasional utility-maximizing ekonomi neoklasikal, yang akan dianggap suatu perilaku yang membingungkan. Thiruvadanthai (2000) mengobservasi bahwa model ekonomi mengabaikan budaya membedakan kekhususan yang sederhana, dan teori, seperti yang dilakukan Simon ( 1976) lebih awal, bahwa agen ekonomi bertindak pada ketertarikan mereka sendiri di dalam menghambat kemampuan mereka, prosedur menggantikan secara rasional untuk subtansi, dan menggunakan heuristic dan peraturan umum sebagai panduan. Jadi, meskipun pelaku ekonomi mungkin terbatas secara rasional, panduan ini mungkin mempunyai sebuah basis budaya yang baik, dan mungkin mempengaruhi beberapa jumlah variabel (lihat contoh, Patterson, 2006). Menguji dimensi yang dimiliki Hoftsede dan bagaimanapun direfleksikan di dalam kebijakan ekonomi masyarakat, respon dan hasil normative, seperti halnya di dalam fungsi kegunaan yang dimiliki individu, memperluas lebih awal kerja ke dalam budaya dan organisasinya serta konsekwensi perilaku, dan mungkin menyediakan beberapa pengertian mendalam pada peran yang memungkinkannya di dalam mempengaruhi perkembangan pasar nasional. Menuangkan kembali ekonomi di dalam memperjelas teori intercultural yang menekankan pada sebuah pertalian profokatif. Pendekatan interdisipliner ini menyarankan bahwa nilai ekonomi mungkin meliputi nilai budaya, atau vice versa, dan ekonomi tersebut menfokuskan pada variable seperti produktifitas, tekhnologi, tingkat investasi, dan arus modal yang mungkin sedikit banyak tidak sempurna. Untuk itu kami menyarankan sebuah pandangan ekonomi yang meniadakan pengaruh budaya pada kegiatan dari agen ekonomi individu dan institusi yang membangun mereka dan mungkin tidak mencukupi, menyoroti kemungkinan dari kualiatatif selanjutnya seperti halnya pemeriksaan kuantitatif terhadap usaha pengembangan.

Keempat, pada level analisa lain yang dari agen pengembangan di seluruh dunia, “mental program” Hoftsede (1980) menyatakan kita semua membawa shirft pendek yang diberikan pada biaya yang besar, dari sebagian besar kepekaan diantara kita. Kita mengusulkan bahwa dalam membentuk strategi untuk mengurangi kemiskinan pada Dunia Ketiga, seperti halnya melanjutkan untuk meningkatkan standar kehidupan di dalam dunia industri, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan dampak budaya, dan barangkali proses perubahan budaya.Penelitian kita mengindikasikan bahwa tidak ada satu gaya pengembangan yang akan sesuai dengan semua keadaan, membedakan ekonomi, isntirusi, dan kondisi budaya yang lebih baik akan menentukan pendekatan di dalam masing – masing contohnya, membutuhkan, sebagaimana Throsby (2001) mengobservasi, “ sebuah orentasi ulang perkembangan pemikiran dari sebuah model seragam commodity-centered ….. terhadap sebuah satu human-centered yang pluralis” ( hal 72). Pada awalnya, dijelaskan mengapa beberapa komunitas mungkin tumbuh secara ambivalen dan membuat perkembangan pilihan yang berbeda, Ramsay (1996) menyarankan bahwa kita harus mengeksplor faktor varietas, yang meliputi kontek budaya dari masing – masing komunitas. Secara spesifik, nilai budaya dan praktek social mungkin membuat beberapa pilihan perkembangan yang memungkinkan sukses dan lain sebagainya. Dalam satu penelitian Ramsay mengusulkan proyek menentang, karena mereka merasa elit pada alam dan bertentangan dengan sebuah budaya antithetical untuk materi yang bersaing dan yang diperoleh.

Tentunya hubungan intrepetasi diusulkan di dalam kertas ini yang harus dibuat dengan hati – hati. Pasar dan budaya berubah, hubungan mereka dinamis, dan tentunya, masing – masing dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, meliputi demographic dan membantu di dalam komunitas global. Dengan berbagai pengaruh yang mungkin mengalir dalam berbagai arah secara simultan, sukses besar pada pekerjaan yang dilakukan.Bagaimanapun, abad 21 menawarkan sedikit, jika tidak meningkatkan kebutuhan untuk prespektif bisnis global, membuat usaha untuk memahami perbedaan kita dan menyamakan semua yang lebih bermanfaat.


No comments: